Cerita Rakyat Dari Sumatera Selatan "Si Pahit Lidah"
Dibawah pepohonan itu tumbuhlah cendawan. Cendawan yang menghadap kearah ladang Aria tebing tumbuh menjadi logam emas. Sedangkan jamur yang menghadap ladang Serunting tumbuh menjadi tanaman yang tidak berguna. Perseteruan itu, pada suatu hari telah berubah menjadi perkelahian.
Menyadari bahwa Serunting lebih sakti, Arya Tebing menghentikan perkelahian tersebut. Ia berusaha mencari jalan lain untuk mengalahkan lawannya. Ia membujuk kakaknya (isteri dari Serunting) untuk memberitahukannya rahasia kesaktian Serunting. Menurut kakaknya Aria Tebing, kesaktian dari Serunting berada pada tumbuhan ilalang yang bergetar (meskipun tidak ditiup angin).
Bermodalkan informasi itu, Aria Tebing kembali menantang Serunting untuk berkelahi. Dengan sengaja ia menancapkan tombaknya pada ilalang yang bergetar itu. Serunting terjatuh, dan terluka parah. Merasa dikhianati isterinya, ia pergi mengembara. Serunting pergi bertapa ke Gunung Siguntang. Oleh Hyang Mahameru, ia dijanjikan kekuatan gaib. Syaratnya adalah ia harus bertapa di bawah pohon bambu hingga seluruh tubuhnya ditutupi oleh daun bambu. Setelah hampir dua tahun bersemedi, daun-daun itu sudah menutupi seluruh tubuhnya. Seperti yang dijanjikan, ia akhirnya menerima kekuatan gaib.
Kesaktian itu adalah bahwa kalimat atau perkataan apapun yang keluar dari mulutnya akan berubah menjadi kutukan. Karena itu ia diberi julukan si Pahit Lidah. Ia berniat untuk kembali ke asalnya, daerah Sumidang. Dalam perjalanan pulang tersebut ia menguji kesaktiannya. Ditepian Danau Ranau, dijumpainya terhampar pohon-pohon tebu yang sudah menguning. Si Pahit Lidah pun berkata, "jadilah batu." Maka benarlah, tanaman itu berubah menjadi batu. Seterusnya, ia pun mengutuk setiap orang yang dijumpainya di tepian Sungai Jambi untuk menjadi batu.
Namun, ia pun punya maksud baik. Dikhabarkan, ia mengubah Bukit Serut yang gundul menjadi hutan kayu. Di Karang Agung, dikisahkan ia memenuhi keinginan pasangan tua yang sudah ompong untuk mempunyai anak bayi
Sumatra Barat
Asal Mula Sungai Ombilin dan Danau Singkarak
Danau Singkarak dengan luas 107,8 m2
merupakan danau terluas kedua setelah Danau Toba di Pulau Sumatra,
Indonesia. Danau yang berada di ketinggian 36,5 meter dari permukaan
laut ini terletak di dua kabupaten di Provinsi Sumatra Barat, yaitu
Kabupaten Solok dan Kabupaten Tanah Datar. Menurut cerita, danau yang
juga merupakan hulu Sungai Batang Ombilin ini dahulu memang merupakan
lautan luas. Namun karena terjadi sebuah peristiwa yang luar biasa, air
laut tersebut menyusut. Peristiwa Apakah yang menyebabkan air laut
tersebut menyusut, sehingga lautan itu berubah menjadi danau? Kisahnya
dapat Anda ikuti dalam cerita Asal Mula Sungai Ombilin dan Danau
Singkarak berikut ini.
* * *
Alkisah, di sebuah kampung di daerah Sumatra Barat, hiduplah keluarga Pak Buyung. Ia tinggal di sebuah gubuk di pinggir laut bersama istri dan seorang anaknya yang masih kecil bernama Indra. Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, Pak Buyung bersama istrinya mengumpulkan hasil-hasil hutan dan menangkap ikan di laut. Setiap pagi mereka pergi ke hutan di Bukit Junjung Sirih untuk mencari manau, rotan, dan damar untuk dijual ke pasar. Jika musim ikan tiba, mereka pergi ke laut menangkap ikan dengan menggunakan pancing, bubu ataupun jala.
Ketika sudah berumur sepuluh tahun, Indra sering membantu kedua orangtuanya ke hutan maupun ke laut. Betapa senang hati Pak Buyung dan istrinya mempunyai anak yang rajin seperti Indra. Namun, ada satu hal yang membuat mereka risau, karena si Indra memiliki suatu keanehan, yaitu selera makannya amatlah berlebihan. Dalam sekali makan, ia dapat menghabiskan nasi setengah bakul dengan lauk beberapa piring.
Pada suatu ketika, musim paceklik tiba. Baik hasil hutan maupun hasil laut sangat sulit diperoleh. Untuk itu, keluarga Pak Buyung harus berhemat terutama menahan selera makan. Mereka harus makan apa adanya. Jika tidak ada nasi, mereka makan ubi atau pun keladi (talas). Cukup lama musim paceklik berlangsung, sehingga mereka semakin kesulitan mendapatkan makanan. Hal itu rupanya membuat mereka lebih peduli pada diri sendiri daripada terhadap anaknya. Kesulitan mendapatkan makanan itu juga membuat mereka hampir berputus asa. Mereka sering bermalas-malasan pergi mencari rotan ke hutan dan mencari ikan ke laut.
Sudah beberapa hari keluarga Pak Buyung hanya makan ubi bakar. Tentu hal itu tidak mengenyangkan perut si Indra. Suatu hari, Indra menangis minta makanan kepada kedua orangtuanya.
“Ayah, carikan saya makanan! Saya sangat lapar,” keluh Indra.
“Hei, anak malas! Kalau kamu lapar carilah sendiri makanan ke hutan atau ke laut sana!” seru ayahnya dengan nada kesal.
“Pak! Bukankah anak kita masih kecil? Tentu dia belum bisa mencari makanan sendiri,` sahut sang Ibu.
“Iya, dia memang masih anak-anak. Tapi, dia yang paling banyak makannya,” bantah sang suami.
Mendengar bantahan suaminya itu, sang Istri pun diam. Ia kemudian membujuk Indra agar berangkat sendiri ke Bukit Junjung Sirih untuk mencari hasil-hasil hutan di Bukit. Indra pun menuruti nasehat ibunya. Sebelum berangkat ke hutan, Indra terlebih dahulu memberi makan seekor ayam piaraannya yang bernama Taduang. Si Taduang adalah seekor ayam yang pandai. Setiap kali tuannya (si Indra) pulang dari hutan, ia selalu berkokok menyambut kedatangan tuannya.
Menjelang siang, Indra pulang dari hutan tanpa membawa hasil. Keesokan harinya, ayahnya memerintahkannya pergi ke laut untuk memancing ikan. Saat Indra pergi ke laut, ayah dan ibunya hanya tidur-tiduran di gubuk. Tampaknya, mereka benar-benar sudah putus asa menghadapi kesulitan hidup. Keadaan demikian berlangsung selama sebulan, sehingga Indra merasa tubuhnya sangat lelah dan berniat untuk beristirahat beberapa hari.
Pada suatu hari, sepulang dari laut mencari ikan, Indra berkata kepada ayahnya:
“Ayah! Badanku terasa sangat letih. Bolehkah saya beristirahat untuk beberapa hari?” pinta Indra.
“Apa katamu? Dasar anak malas! Kamu tidak boleh beristirahat. Besok kamu harus tetap kembali ke laut mencari ikan,” ujar sang Ayah.
Oleh karena tidak ingin membatah perintah ayahnya, keesokan harinya Indra pergi ke laut mencari ikan. Ketika Indra berangkat ke laut, secara diam-diam ibunya juga berangkat ke laut. Tapi, ia menuju ke sebuah tanjung, agak jauh dari tempat Indra mencari ikan. Sementara ayahnya pergi ke hutan.
Menjelang siang, Pak Buyung kembali dari hutan dengan membawa seikat ijuk. Sesampainya di rumah, ia melihat istrinya sedang membersihkan pensi (sejenis kerang berukuran kecil).
“Sedang apa, Bu?” tanya Pak Buyung kepada istrinya.
“Sedang membersihkan pensi, Pak! Tadi ketika hendak mencari ikan di laut, aku melihat banyak warga dari kampung tetangga sedang mencari pensi. Akhirnya aku pun ikut mencari pensi bersama mereka,” jawab istrinya.
“Bagaimana cara memasaknya? Bukankah Ibu belum pernah memasak pensi sebelumnya? ” tanya Pak Buyung.
“Tenang, Pak! Kata seorang warga dari kampung tetangga, daging pensi enak jika dimasak pangek[1],” jelas istrinya.
“Wah, kalau begitu, kita makan enak siang ini,” ucap Pak Buyung sambil mengusap-usap perutnya yang sudah keroncongan.
Setelah membersihkan pensi itu, sang Istri pun segera membuatkan bumbu dan memasaknya. Tak lama kemudian, aroma masakan pangek pun tercium oleh Pak Buyung.
“Wah, harum sekali aromanya. Istriku memang pintar memasak,” puji Pak Buyung seraya mendekati istrinya yang sedang masak di dapur.
“Bu, apakah pangek ini cukup kita makan bertiga?” tanya Pak Buyung.
“Tentu saja cukup,” jawab istrinya.
“Apakah Ibu sudah lupa kalau si Indra makannya banyak? Pangek ini pasti tidak cukup dia makan sendiri,” kata Pak Buyung.
`Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan, Pak?” tanya istrinya.
“Bagaimana kalau kita makan diam-diam, selagi si Indra masih berada di laut,” saran Pak Buyung.
“Tapi, sebentar lagi dia pulang,” kata istrinya.
“Kalau dia pulang, pasti akan ketahuan.,” ucap Pak Buyung.
“Bagaimana Bapak bisa mengetahuinya!” tanya istrinya.
“Jika si Taduang berkokok, berarti si Indra telah pulang,” jawab Pak Buyung.
Sang Istri pun mengangguk-angguk mendengar jawaban suaminya. Keduanya pun menyantap pangek itu dengan lahapnya. Namun, baru makan beberapa suap, tiba-tiba ayam peliharaan Indra berkokok. Mendengar kokok ayam itu, kedua suami-istri itu segera mencuci tangan, lalu membereskan makanan dan menyembunyikannya di bawah tempat tidur. Ketika Indra masuk ke gubuk, ia melihat kedua orangtuanya sedang duduk-duduk bersantai. Kedua orangtuanya terlihat tenang, seakan-akan tidak ada sesuatu yang terjadi.
“Hei, Indra! Mana ikan yang kamu peroleh?” tanya ayahnya.
“Maaf, Ayah! Hari ini aku tidak memperoleh ikan?” jawab Indra dengan wajah kusut.
“Kenapa kamu pulang kalau belum memperoleh ikan?” tanya ayahnya.
“Maaf, Ayah! Saya sangat letih dan lapar,” jawab Indra.
“Hei, apa yang bisa kamu makan kalau tidak memperoleh ikan?” sang Ayah kembali bertanya.
“Saya sudah berusaha, Ayah. Tapi belum berhasil,” jawab Indra.
“Ayah, Ibu! Adakah sesuatu yang bisa saya makan. Sekedar pengganjal perut,” pinta Indra kepada kedua orangtuanya.
“Tidak! Hari ini tidak ada makanan untuk anak pemalas,” kata ayahnya.
“Tapi, Ayah! Saya lapar sekali,” keluh Indra sambil memegang perutnya.
“Baiklah! Kamu boleh makan, tapi kamu harus mencuci ijuk ini sampai bersih,” sahut ibunya sambil menyerahkan ijuk yang tadi dibawa suaminya dari hutan.
Indra pun segera pergi ke laut mencuci ijuk itu karena ingin mendapatkan makanan dari kedua orangtuanya. Ketika Indra berangkat ke laut, kedua orangtuanya kembali melanjutkan acara makan mereka.
“Wah, meskipun baru kali ini Ibu memasak pangek pensi, tapi rasanya lezat sekali,” sanjung Pak Buyung kepada istrinya.
Sang Istri tersenyum mendengar sanjungan suaminya. Kemudian sepasang suami istri itu makan pangek dengan lahapnya. Mereka baru berhenti makan setelah perut mereka benar-benar sudah penuh. Selesai makan, mereka kembali menyembunyikan makanan yang masih tersisa di bawah tempat tidur. Tidak beberapa lama kemudian, si Taduang terdengar berkokok, pertanda tuannya telah kembali dari laut. Ketika masuk ke dalam gubuk, Indra melihat kedua orangtuanya masih sedang duduk bersantai.
“Bagaimana? Apakah ijuk itu sudah bersih kamu cuci?” tanya ibunya.
“Sudah, Bu,” jawab Indra sambil meletakkan ijuk itu di depan ibunya.
“Hah! Kenapa masih hitam begini? Kamu harus mencucinya hingga berwarna putih,” ujar ibunya.
“Tapi, Bu! Aku sudah berusaha mencucinya berkali-kali, bahkan aku menggosoknya dengan campuran pasir, tapi masih tetap berwarna hitam,” sanggah Indra.
“Ah, alasan saja! Cuci lagi ijuk itu ke laut!” seru ayahnya.
Dengan langkah sempoyongan, Indra pun kembali ke laut. Sesampainya di laut, ia terus berusaha mencuci dan menggosok ijuk itu hingga berkali-kali, tetapi tetap saja berwarna hitam. Rupanya Indra yang masih anak-anak tidak mengetahui jika ijuk itu memang pada dasarnya berwarna hitam. Meskipun ijuk itu berkali-kali dicuci dan digosok, tentu tidak akan pernah berwarna putih.
Menjelang senja, Indra kembali ke gubuknya. Ketika masuk ke ruang tengah gubuknya, ia tidak lagi melihat kedua orangtuanya duduk-duduk. Dengan pelan-pelan, ia melangkah menuju ke ruang dapur. Betapa terkejutnya ia ketika melihat kedua orangtuanya sedang tertidur pulas di ruang dapur. Di sekeliling mereka berserakan piring makan, bakul nasi, dan panci pangek pensi yang telah kosong. Hanya kuah dengan beberapa cuil daging pensi yang tersisa.
Alangkah sedihnya hati Indra menyaksikan semua itu. Kini ia menyadari bahwa kedua orangtuanya telah menipu dan membohonginya. Namun, sebagai anak yang berbakti, dia tidak ingin marah kepada mereka yang telah melahirkannya. Ia pun berjalan keluar dari gubuknya sambil mengusap air mata yang menetes di pipinya. Saat berada di luar gubuk, ia langsung menangkap ayam kesayangannya, si Taduang. Kemudian ia duduk di atas batu di samping gubuknya sambil mengusab-usap bulu si Taduang.
“Taduang! Rupanya Ayah dan Ibuku telah menipuku. Untuk apalagi aku tinggal bersama mereka di sini, kalau mereka sudah tidak menyayangiku lagi,” kata Indra kepada ayamnya.
Mendengar pernyataan Indra, ayam itu pun berkokok berkali-kali, pertanda bahwa ia mengerti perasaan tuannya. Si Taduang kemudian mengepak-ngepakkan sayapnya. Indra pun mengerti bahwa ayam kesayangannya itu akan mengajaknya pergi meninggalkan kampung itu. Dengan cepat, Indra pun segera berpegangan pada kaki si Taduang. Beberapa saat kemudian, si Taduang terbang ke udara, sementara Indra tetap berpegangan pada kakinya. Saat tubuh Indra terangkat, batu tempat Indra duduk itu juga ikut terangkat. Anehnya, semakin tinggi mereka terbang, batu itu semakin membesar. Akhirnya, si Taduang pun sudah tidak kuat lagi membawa terbang si Indra bersama batu besar itu. Melihat hal itu, Indra pun segera menyentakkan kakinya, sehingga batu besar itu melesat menuju ke bumi dan menghantam salah satu bukit yang ada di sekitar lautan. Hantaman batu itu membentuk sebuah lubang memanjang. Dengan cepat, air laut pun mengalir ke arah lubang itu dan menembus bukit, sehingga membentuk aliran sungai.
Konon, itulah yang menjadi asal mula Sungai Batang Ombilin, yang bermuara ke daerah Riau. Semakin lama air laut itu semakin menyusut, sehingga lautan itu berubah menjadi Danau Singkarak yang hingga kini menjadi kebanggaan masyarakat Solok. Sementara Indra yang diterbangkan oleh ayam kesayangannya, si Taduang, hingga kini tidak diketahui keberadaannya.
Legenda Lau Kawar ( Tanah karo sumatera utara )
Pada zaman dahulu kala
tersebutlah dalam sebuah kisah, ada sebuah desa yang sangat subur di
daerah Kabupaten Karo. Desa Kawar namanya. Penduduk desa ini umumnya
bermata pencaharian sebagai petani. Hasil panen mereka selalu melimpah
ruah. Suatu waktu, hasil panen mereka meningkat dua kali lipat dari
tahun sebelumnya. Lumbung-lumbung mereka penuh dengan padi. Bahkan
banyak dari mereka yang lumbungnya tidak muat dengan hasil panen. Untuk
mensyukuri nikmat Tuhan tersebut, mereka pun bergotong-royong untuk
mengadakan selamatan dengan menyelenggarakan upacara adat.
Pada
hari pelaksanaan upacara adat tersebut, Desa Kawar tampak ramai dan
semarak. Para penduduk mengenakan pakaian yang berwarna-warni serta
perhiasan yang indah. Kaum perempuan pada sibuk memasak berbagai macam
masakan untuk dimakan bersama dalam upacara tersebut. Pelaksanaan
upacara juga dimeriahkan dengan pagelaran ‘Gendang Guro-Guro Aron’,
musik khas masyarakat Karo. Pada pesta yang hanya dilaksanakan setahun
sekali itu, seluruh penduduk hadir dalam pesta tersebut, kecuali seorang
nenek tua renta yang sedang menderita sakit lumpuh. Tidak ketinggalan
pula anak, menantu maupun cucunya turut hadir dalam acara itu.
Tinggallah
nenek tua itu seorang sendiri terbaring di atas pembaringannya. “Ya,
Tuhan! Aku ingin sekali menghadiri pesta itu. Tapi, apa dayaku ini.
Jangankan berjalan, berdiri pun aku sudah tak sanggup,” ratap si nenek
tua dalam hati.
Dalam
keadaan demikian, ia hanya bisa membayangkan betapa meriahnya suasana
pesta itu. Jika terdengar sayup-sayup suara Gendang Guro-guro Aron
didendangkan, teringatlah ketika ia masih remaja. Pada pesta Gendang
Guro-Guro Aron itu, remaja laki-laki dan perempuan menari
berpasang-pasangan. Alangkah bahagianya saat-saat seperti itu. Namun,
semua itu hanya tinggal kenangan di masa muda si nenek. Kini, tinggal
siksaan dan penderitaan yang dialami di usia senjanya. Ia menderita
seorang diri dalam kesepian. Tak seorang pun yang ingin mengajaknya
bicara. Hanya deraian air mata yang menemaninya untuk menghilangkan
bebannya. Ia seakan-akan merasa seperti sampah yang tak berguna, semua
orang tidak ada yang peduli padanya, termasuk anak, menantu serta
cucu-cucunya.
Ketika
tiba saatnya makan siang, semua penduduk yang hadir dalam pesta
tersebut berkumpul untuk menyantap makanan yang telah disiapkan. Di sana
tersedia daging panggang lembu, kambing, babi, dan ayam yang masih
hangat. Suasana yang sejuk membuat mereka bertambah lahap dalam
menikmati berbagai hidangan tersebut. Di tengah-tengah lahapnya mereka
makan sekali-kali terdengar tawa, karena di antara mereka ada saja yang
membuat lelucon. Rasa gembira yang berlebihan membuat mereka lupa diri,
termasuk anak dan menantu si nenek itu. Mereka benar-benar lupa ibu
mereka yang sedang terbaring lemas sendirian di rumah.
Sementara
itu, si nenek sudah merasa sangat lapar, karena sejak pagi belum ada
sedikit pun makanan yang mengisi perutnya. Kini, ia sangat mengharapkan
anak atau menantunya ingat dan segera mengantarkan makanan. Namun,
setelah ditunggu-tunggu, tak seorang pun yang datang.
“Aduuuh…!
Perutku rasanya melilit-lilit. Tapi, kenapa sampai saat ini anak-anakku
tidak mengantarkan makanan untukku?” keluh si nenek yang badannya sudah
gemetar menahan lapar. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, ia mencoba
mencari makanan di dapur, tetapi ia tidak mendapatkan apa-apa. Rupanya,
sang anak sengaja tidak memasak pada hari itu, karena di tempat upacara
tersedia banyak makanan.
Akhirnya,
si nenek tua terpaksa beringsut-ingsut kembali ke pembaringannya. Ia
sangat kecewa, tak terasa air matanya keluar dari kedua kelopak matanya.
Ibu tua itu menangisi nasibnya yang malang.
“Ya,
Tuhan! Anak-cukuku benar-benar tega membiarkan aku menderita begini. Di
sana mereka makan enak-enak sampai kenyang, sedang aku dibiarkan
kelaparan. Sungguh kejam mereka!” kata nenek tua itu dalam hati dengan
perasaan kecewa.
Beberapa
saat kemudian, pesta makan-makan dalam upacara itu telah usai. Rupanya
sang anak baru teringat pada ibunya di rumah. Ia kemudian segera
menghampiri istrinya.
“Isriku! Apakah kamu sudah mengantar makanan untuk ibu?” tanya sang suami kepada istrinya.
“Belum?” jawab istrinya.
“Kalau begitu, tolong bungkuskan makanan, lalu suruh anak kita menghantarkannya pulang!” perintah sang suami.
“Baiklah, suamiku!‘ jawab sang istri.
Wanita
itu pun segera membungkus makanan lalu menyuruh anaknya, “Anakku!
Antarkan makanan ini kepada nenek di rumah!” perintah sang ibu.
“Baik, Bu!” jawab anaknya yang langsung berlari sambil membawa makanan itu pulang ke rumah.
Sesampainya
di rumah, anak itu segera menyerahkan makanan itu kepada neneknya, lalu
berlari kembali ke tempat upacara. Alangkah senangnya hati sang nenek.
Pada saat-saat lapar seperti itu, tiba-tiba ada yang membawakan makanan.
Dengan perasaan gembira, sang nenek pun segera membuka bungkusan itu.
Namun betapa kecewanya ia, ternyata isi bungkusan itu hanyalah sisa-sisa
makanan!!.
Beberapa
potong tulang sapi dan kambing yang hampir habis dagingnya. “Ya, Tuhan!
Apakah mereka sudah menganggapku seperti binatang. Kenapa mereka
memberiku sisa-sisa makanan dan tulang-tulang,” gumam si nenek tua
dengan perasaan kesal.
Sebetulnya
bungkusan itu berisi daging panggang yang masih utuh. Namun, di tengah
perjalanan si cucu telah memakan sebagian isi bungkusan itu, sehingga
yang tersisa hanyalah tulang-tulang.
Si
nenek tua yang tidak mengetahui kejadian yang sebenarnya, mengira anak
dan menantunya telah tega melakukan hal itu. Maka, dengan perlakuan itu,
ia merasa sangat sedih dan terhina. Air matanya pun tak terbendung
lagi. Ia kemudian berdoa kepada Tuhan agar mengutuk anak dan menantunya
itu.
“Ya,
Tuhan!” Mereka telah berbuat durhaka kepadaku. Berilah mereka
pelajaran!” perempuan tua itu memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Baru
saja kalimat itu lepas dari mulut si nenek tua, tiba-tiba terjadi gempa
bumi yang sangat dahsyat. Langit pun menjadi mendung, guntur menggelegar
bagai memecah langit, dan tak lama kemudian hujan turun dengan
lebatnya.
Seluruh
penduduk yang semula bersuka-ria, tiba-tiba menjadi panik. Suara jerit
tangis meminta tolong pun terdengar dari mana-mana. Namun, mereka sudah
tidak bisa menghindar dari keganasan alam yang sungguh mengerikan itu.
Dalam
sekejap, desa Kawar yang subur dan makmur tiba-tiba tenggelam. Tak
seorang pun penduduknya yang selamat dalam peristiwa itu. Beberapa hari
kemudian, desa itu berubah menjadi sebuah kawah besar yang digenangi
air. Oleh masyarakat setempat, kawah itu diberi nama ‘Lau Kawar’.
Demikianlah
cerita tentang Asal Mula Lau Kawardari daerah Tanah Karo, Sumatera
Utara. Cerita di atas termasuk cerita rakyat teladan yang mengandung
pesan-pesan moral. Sedikitnya ada tiga pesan moral yang dapat dipetik
dari cerita di atas, yaitu pandai mensyukuri nikmat, menjauhi sifat
durhaka kepada orang tua, dan menyia-nyiakan amanat.
**********
merupakan
sebuah legenda yang berkembang di Kabupaten Karo, Sumatera Utara.
Kabupaten yang memiliki wilayah seluas 2.127,25 km2 ini terletak di
dataran tinggi Karo, Bukit Barisan, Sumatera Utara.
Oleh karena
daerahnya terletak di dataran tinggi, sehingga kabupetan ini dijuluki
Taneh Karo Simalem. Kabupaten ini memiliki iklim yang sejuk dengan suhu
berkisar antara 16 sampai 17C dan tanah yang subur. Maka tidak heran,
jika daerah ini sangat kaya dengan keindahan alamnya. Salah satunya
adalah keindahan Danau Lau Kawar, yang terletak di Desa Kuta Gugung,
Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo. Air yang bening dan tenang,
serta bunga-bunga anggrek yang indah, yang mengelilingi danau ini
menjadi pesona alam yang mengagumkan.Menurut masyarakat setempat, sebelum terbentuk menjadi sebuah danau yang indah, Danau Lau Kawar adalah sebuah desa yang bernama ‘Kawar’. Dahulu, daerah tersebut merupakan kawasan pertanian yang sangat subur. Mata pencaharian utama penduduknya adalah bercocok tanam. Hasil pertanian mereka selalu melimpah ruah, meskipun tidak pernah memakai pupuk dan obat-obatan seperti sekarang ini. Suatu waktu, terjadi malapetaka besar, sehingga desa Kawar yang pada awalnya merupakan sebuah desa yang subur menjelma menjadi sebuah danau
Talaga Warna: cerita daerah Jawa Barat
Zaman dahulu, ada sebuah kerajaan di
Jawa Barat. Negeri itu dipimpin oleh seorang raja. Prabu, begitulah
orang memanggilnya. Ia adalah raja yang baik dan bijaksana. Tak heran,
kalau negeri itu makmur dan tenteram. Tak ada penduduk yang lapar di
negeri itu.
Semua sangat
menyenangkan. Sayangnya, Prabu dan istrinya belum memiliki anak. Itu
membuat pasangan kerajaan itu sangat sedih. Penasehat Prabu menyarankan,
agar mereka mengangkat anak. Namun Prabu dan Ratu tidak setuju. "Buat
kami, anak kandung adalah lebih baik dari pada anak angkat," sahut
mereka.
Anak itu tumbuh menjadi
orang dewasa yang tinggi besar. Karena itu ia dipanggil dengan nama Kebo
Iwa, yang artinya paman kerbau.
Ratu sering murung dan menangis. Prabu pun ikut sedih melihat istrinya..
Lalu Prabu pergi ke hutan untuk bertapa. Di sana sang Prabu terus
berdoa, agar dikaruniai anak. Beberapa bulan kemudian, keinginan mereka
terkabul. Ratu pun mulai hamil. Seluruh rakyat di kerajaan itu senang
sekali. Mereka membanjiri istana dengan hadiah.
Sembilan
bulan kemudian, Ratu melahirkan seorang putri. Penduduk negeri pun
kembali mengirimi putri kecil itu aneka hadiah. Bayi itu tumbuh menjadi
anak yang lucu. Belasan tahun kemudian, ia sudah menjadi remaja yang
cantik.
Kebo Iwa memang serba
besar. Jangkauan kakinya sangat lebar, sehingga ia dapat bepergian
dengan cepat. Kalau ia ingin minum, Kebo Iwa tinggal menusukkan
telunjuknya ke tanah. Sehingga terjadilah sumur kecil yang mengeluarkan
air.
Prabu dan Ratu sangat
menyayangi putrinya. Mereka memberi putrinya apa pun yang dia inginkan.
Namun itu membuatnya menjadi gadis yang manja. Kalau keinginannya tidak
terpenuhi, gadis itu akan marah. Ia bahkan sering berkata kasar.
Walaupun begitu, orangtua dan rakyat di kerajaan itu mencintainya.
Hari
berlalu, Putri pun tumbuh menjadi gadis tercantik di seluruh negeri.
Dalam beberapa hari, Putri akan berusia 17 tahun. Maka para penduduk di
negeri itu pergi ke istana. Mereka membawa aneka hadiah yang sangat
indah. Prabu mengumpulkan hadiah-hadiah yang sangat banyak itu, lalu
menyimpannya dalam ruangan istana. Sewaktu-waktu, ia bisa menggunakannya
untuk kepentingan rakyat.
Prabu
hanya mengambil sedikit emas dan permata. Ia membawanya ke ahli
perhiasan. "Tolong, buatkan kalung yang sangat indah untuk putriku,"
kata Prabu. "Dengan senang hati, Yang Mulia," sahut ahli perhiasan. Ia
lalu bekerja d sebaik mungkin, dengan sepenuh hati. Ia ingin menciptakan
kalung yang paling indah di dunia, karena ia sangat menyayangi Putri.
Hari
ulang tahun pun tiba. Penduduk negeri berkumpul di alun-alun istana.
Ketika Prabu dan Ratu datang, orang menyambutnya dengan gembira.
Sambutan hangat makin terdengar, ketika Putri yang cantik jelita muncul
di hadapan semua orang. Semua orang mengagumi kecantikannya.
Prabu
lalu bangkit dari kursinya. Kalung yang indah sudah dipegangnya.
"Putriku tercinta, hari ini aku berikan kalung ini untukmu. Kalung ini
pemberian orang-orang dari penjuru negeri. Mereka sangat mencintaimu.
Mereka mempersembahkan hadiah ini, karena mereka gembira melihatmu
tumbuh jadi dewasa. Pakailah kalung ini, Nak," kata Prabu.
Putri
menerima kalung itu. Lalu ia melihat kalung itu sekilas. "Aku tak mau
memakainya. Kalung ini jelek!" seru Putri. Kemudian ia melempar kalung
itu. Kalung yang indah pun rusak. Emas dan permatanya tersebar di
lantai.
Itu sungguh mengejutkan. Tak
seorang pun menyangka, Putri akan berbuat seperti itu. Tak seorang pun
bicara. Suasana hening. Tiba-tiba terdengar tangisan Ratu. Tangisannya
diikuti oleh semua orang.
Tiba-tiba
muncul mata air dari halaman istana. Mula-mula membentuk kolam kecil.
Lalu istana mulai banjir. Istana pun dipenuhi air bagai danau. Lalu
danau itu makin besar dan menenggelamkan istana.
Sekarang,
danau itu disebut Talaga Warna. Danau itu berada di daerah puncak. Di
hari yang cerah, kita bisa melihat danau itu penuh warna yang indah dan
mengagumkan. Warna itu berasal dari bayangan hutan, tanaman,
bunga-bunga, dan langit di sekitar telaga. Namun orang mengatakan,
warna-warna itu berasal dari kalung Putri yang tersebar di dasar telaga.
Cerita Rakyat Jawa Timur
Asal usul surabaya
Dahulu,
di lautan luas sering terjadi perkelahian antara ikan hiu Sura dengan
Buaya. Mereka berkelahi hanya karena berebut mangsa. Keduanya sama-sama
kuat, sama-sama tangkas, sama-sama cerdik, sama-sama ganas, dan
sama-sama rakus. Sudah berkali-kali mereka berkelahi belum pernah ada
yang menang atau pun yang kalah. Akhimya mereka mengadakan kesepakatan.
“Aku bosan terus-menerus berkelahi, Buaya,” kata ikan Sura.
“Aku juga, Sura. Apa yang harus kita lakukan agar kita tidak lagi berkelahi?” tanya Buaya.
Ikan Hiu Sura yang sudah memiliki rertcana untuk menghentikan perkelahiannya dengan Buaya segera menerangkan.
“Untuk
mencegah perkelahian di antara kita, sebaiknya kita membagi daerah
kekuasaan menjadi dua. Aku berkuasa sepenuhnyadi dalam air dan harus
mencari mangsa di dalam air, sedangkan kamu berkuasa di daratan dan
mangsamu harus yang berada di daratan. Sebagai batas antara daratan dan
air, kita tentukan batasnya, yaitu tempat yang dicapai oleh air laut
pada waktu pasang surut!”
“Baik aku setujui gagasanmu itu!” kata Buaya.
Dengan
adanya pembagian wilayah kekuasaan, maka tidak ada perkelahian lagi
antara Sura dan Buaya. Keduanya telah sepakat untuk menghormati wilayah
masing-masing.
Tetapi
pada suatu hari, Ikan Hiu Sura mencari mangsa di sungai. Hal ini
dilakukan dengan sembunyi-sembunyi agar Buaya tidak mengetahui.
Mula-mula hal ini memarig tidak ketahuan. Tetapi pada suatu hari Buaya
memergoki perbuatan Ikan Hiu Sura ini. Tentu saja Buaya sangat marah
melihat Ikan Hiu Sura melanggar janjinya.
“Hai
Sura, mengapa kamu melanggar peraturan yang telah kita sepakati berdua?
Mengapa kamu berani memasuki sungai yang merupakan wilayah
kekuasaanku?” tanya Buaya.
Ikan Hiu Sura yang tak merasa bersalah tenang-tenang saja. “Aku melanggar kesepakatan? Bukankah sungai ini berair.
Bukankah
aku sudah bilang bahwa aku adalah penguasa di air? Nah, sungai ini ‘kan
ada airnya, jadi juga termasuk daerah kekuasaanku,” kata Ikan Hiu Sura.
“Apa?
Sungai itu ‘kari tempatnya di darat, sedangkan daerah kekuasaanmu ada
di laut, berarti sungai itu adalah daerah kekuasaanku!” Buaya ngotot.
“Tidak bisa. Aku “kan tidak pernah bilang kalau di air hanya air laut, tetapi juga air sungai,” jawab Ikan Hiu Sura.
“Kau sengaja mencari gara-gara, Sura?”
“Tidak! Kukira alasanku cukup kuat dan aku memang di pihak yang benar!” kata Sura.
“Kau sengaja mengakaliku. Aku tidak sebodoh yang kau kira!” kata Buaya mulai marah.
“Aku tak peduli kau bodoh atau pintar, yang penting air sungai dan air laut adalah kekuasaanku!” Sura tetap tak mau kalah.
“Kalau
begitu kamu memang bermaksud membohongiku ? Dengan demikian perjanjian
kita batal! Siapa yang memiliki kekuatan yang paling hebat, dialah yang
akan menjadi penguasa tunggal!” kata Buaya.
“Berkelahi lagi, siapa takuuut!” tantang Sura dengan pongahnya.
Pertarungan
sengit antara Ikan Hiu Sura dan Buaya terjadi lagi. Pertarungan kali
ini semakin seru dan dahsyat. Saling menerjang dan menerkam, saling
menggigit dan memukul. Dalam waktu sekejap, air di sekitarnya menjadi
merah oleh darah yang keluar dari luka-luka kedua binatang itu. Mereka
terus bertarung mati-matian tanpa istirahat sama sekali.
Dalam
pertarungan dahsyat ini, Buaya mendapat gigitan Ikan Hiu Sura di
pangkal ekornya sebelah kanan. Selanjutnya, ekornya itu terpaksa selalu
membelok ke kiri. Sementara ikan Sura juga tergigiut ekornya hingga
hampir putus lalu ikan Sura kembali ke lautan. Buaya puas telah dapat
mempertahankan daerahnya.
Pertarungan
antara Ikan Hiu yang bernama Sura dengan Buaya ini sangat berkesan di
hati masyarakat Surabaya. Oleh karena itu, nama Surabaya selalu
dikait-kaitkan dengan peristiwa ini. Dari peristiwa inilah kemudian
dibuat lambang Kota Madya Surabaya yaitu gambar ikan sura dan buaya.
Namun
adajugayang berpendapat Surabaya berasal dari Kata Sura dan Baya. Sura
berarti Jaya atau selamat Baya berarti bahaya, jadi Surabaya berarti
selamat menghadapi bahaya. Bahaya yang dimaksud adalah serangah tentara
Tar-tar yang hendak menghukum Raja Jawa.Seharusnya yang dihukum adalah
Kertanegara, karena Kertanegara sudah tewas terbunuh, maka Jayakatwang
yang diserbu oleh tentara Tar-tar. Setelah mengalahkan Jayakatwang
orang-orang Tar-Tar merampas harta benda dan puluhan gadis-gadis cantik
untuk dibawa ke Tiongkok. Raden Wijaya tidak terima diperlakukan
sepereti ini. Dengan siasat yang jitu, Raden Wijaya menyerang tentara
Tar-Tar di pelabuhan Ujung Galuh hingga mereka menyingkir kembali ke
Tiongkok.
Selanjutnya, dari hari peristiwa kemenangan Raden Wijaya inilah ditetapkan sebagai hari jadi Kota Surabaya.
Surabaya
sepertinya sudah ditakdirkan untuk terus bergolak. Tanggal 10 Nopmber
1945 adalah bukti jati diri warga Surabaya yaitu berani menghadapi
bahaya serangan Inggris dan Belanda.
Di
jaman sekarang, pertarungan memperebutkan wilayah air dan darat terus
berlanjut. Di kala musim penghujan tiba kadangkala banjir menguasai kota
Surabaya. Di musim kemarau kadangkala tenpat-tempat genangan air
menjadi daratan kering. Itulah Surabaya.